Mencoba Berjualan di Suatu Bazar

Kami nggak pernah benar-benar niat jadi pedagang, tapi waktu ditawari ikut buka lapak di sebuah event kampus, saya dan teman saya langsung angguk aja. “Kapan lagi coba jualan baju sendiri,” katanya. Saya cuma nyengir, meskipun di kepala isinya masih tanda tanya.
Kami bawa stok seadanya—kaus, jaket, totebag—semua hasil kulakan dan sedikit desain sendiri. Stan kami kecil, cuma satu meja lipat dan rak gantungan dari pipa besi yang dipinjam dari rumahnya. Tapi kami semangat. Nempelin harga, pasang spanduk ala kadarnya, lalu duduk menunggu pengunjung lewat.
Awalnya sepi. Beberapa orang cuma lewat sambil lihat-lihat, lalu pergi. Tapi setelah kami coba ubah pendekatan—senyum lebih lebar, sapa lebih dulu, dan kasih bonus kecil—baru mulai ada yang mampir dan beli.
Ada yang nawar sampai setengah harga, ada juga yang langsung beli dua tanpa pikir panjang. Satu-dua teman mampir buat ngasih semangat, dan tentu saja, foto-foto biar kelihatan produktif.
Di sela-sela sepi, kami sempat leyeh-leyeh, duduk bersandar sambil minum es teh dari stan sebelah. Kami ngobrolin hal-hal receh: tugas yang belum kelar, orang yang dilirik diam-diam, sampai baju mana yang kami kira gak bakal laku... tapi ternyata laku duluan.
Hari itu nggak bikin kami jadi kaya, tapi rasanya cukup buat bikin puas. Kami belajar ngatur harga, ngobrol sama orang asing, dan yang paling penting: berani nyoba.
Pas semua barang udah masuk ke kantong plastik terakhir, kami saling pandang dan ketawa kecil.
“Lumayan, ya,” kata temanku.
Saya jawab, “Lumayan capek juga, tapi seru.”
Komentar
Posting Komentar